Bedah Buku Koleksi: Sejarah Jawa Dimata Raffles

Sumber: Helena Srimurti on: October 11, 2008
Judul buku: The History of Java
Penulis: Thomas Stamford Raffles
Alih bahasa: Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah
Penerbit: Penerbit Narasi, Yogyakarta
Cetakan: I, 2008
Halaman: XXXVI + 904 halaman




Ketika meninggalkan Indonesia (tepatnya di Bengkulu) pada 1823, sambil menyeka air mata, Raffles membawa pulang 30 ton naskah tentang Jawa.


Kira-kira tujuh tahun sebelumnya ia menerbitkan buku legendaris yang hingga kini terus diperbincangkan. Untuk keperluan penulisan, menurut Anthony Forge (1994), Sang Gubernur, yang juga memprakarsai kelahiran Singapura, tak hanya mengumpulkan banyak statistik, obyek-obyek material pun ia sertakan –mulai lukisan, ukiran kayu dan logam, baju adat, alat musik, hingga spesimen tumbuhan, rangka binatang dan sekaligus kulitnya. Ditambah sokongan data surat kabar The Java Gouvernment Gazette, lengkap sudah perbendaharaan Raffles untuk menulis mahakaryanya ini, History of Java –judul yang gagah lantaran mencakup dimensi-dimensi yang sangat beragam dan luas.


Pribadi Raffles memang memenuhi kualifikasi untuk menghasilkan karya besar. Jauh sebelum menjadi gubernur di Jawa, Raffles mengawali kariernya sebagai juru tulis sebuah perusahaan Hindia-Timur (1795). Sebagai seorang analis dan ahli dokumentasi, ia sangat tekun, ulet, cerdas, jeli, dan berkemauan keras. Tak heran, selama berkuasa di Jawa, berbekal akses yang luas, ia rajin menyambangi hutan, desa, hingga berbagai obyek arkiak Jawa. Ia juga gemar mengunjungi para penguasa lokal sembari berbuku naskah-naskah kuno.


Kualifikasi keilmuan Raffes terlihat pada kemampuan olah data yang mumpuni dan komprehensif. Terdapat banyak footnote buku-buku ilmiah tempat Raffles harus merujuk. Seperti dikutip majalah Tempo (edisi 9-25 Mei 2008), kepiawaian Raffles meracik data lokal dengan buku ilmiah para ilmuwan, seperti buku F. Valentijn (Oud en Nieuw Oost-Indien, 1724), dan karya Rumphius (Herbarium Amboinense, 1741) sangat mengagumkan. Lebih-lebih Raffles memperkaya ulasannya dengan aneka ilustrasi litografi yang unik dan menarik. Boleh jadi, beberapa obyek nyata dari ilustrasi itu sudah tak bisa dilihat lagi di tempat asalnya.


Selama menjadi Gubernur Jenderal di Jawa (1814-1816), ia berhasil mengusahakan banyak hal: mengenalkan otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, menata ulang sistem perpajakan dan pertanahan, serta merintis penelitian serius terhadap sastra Jawa kuno. Ia pula yang menginisiasi pendirian Kebun Raya Bogor, Museum Etnografi di Batavia, memugar Candi Borobudur, Candi Panataran, dan Candi Prambanan. Dengan waktu yang relatif singkat itu, Raffles menjadi layak untuk dikenang. Lebih-lebih ia tak suka dengan model pemerintahan Belanda yang abai terhadap perikemanusiaan.


Raffles memulai Bab I dengan mendeskripsikan kondisi geografis Pulau Jawa. Ia menarasikan sebuah peta topografis ihwal keadaan alam Jawa dalam sejumlah ukuran: pembagian wilayah, pelabuhan, pegunungan, sungai dan danau, pemandangan alam, susunan bebatuan, musim dan iklim, jenis logam, kondisi tanah, serta flora-fauna. Salah satu subtema yang menarik dicermati adalah ketika Raffles mengulas bagaimana dan dari mana nama “Jawa” didapat. Penelusuran etimologis yang dilakukan Raffles bahkan, sampai-sampai, mengutip Kitab Kejadian Bab X.


Pada Bab II, Raffles mendiskusikan populasi Jawa dengan dua pola sekaligus. Mula-mula ia melakukan kilas balik sejarah asal mula orang Jawa, dan kemudian membandingkan perbedaan ras Jawa dengan ras Melayu dan ras Bugis. Tak hanya itu, pembahasan tentang sejumlah ras pendatang semacam Cina, Moor, dan Arab, ia sertakan pula. Dengan gambaran yang relatif lengkap seperti itu, Raffles bisa bercerita banyak mengenai kesenjangan ekonomi hingga problem kelas sosial.


Kecintaan Raffles pada dunia botani terlihat pada Bab III. Ia merasa takjub pada kesuburan alam Jawa yang tiada tandingnya di belahan bumi mana pun. “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan,” demikian tulisnya, “bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini.”


Tengok pula bagaimana ia bersaksi, “Tidak ada pemandangan yang lebih indah untuk mata atau imajinasi seseorang dibandingkan melihat lautan padi menguning di lereng gunung dan buah-buahan di hutan yang siap dimakan.”


Raffles tak luput memperlihatkan bagaimana kodrat agrikultur orang Jawa terejawantah dalam keseharian. Poin ini lebih lanjut diuraikan pada Bab VI, yang secara penuh disediakan untuk menggambarkan karakter orang Jawa. Raffles bahkan merasa perlu menyangkal prasangka umum di Barat yang menganggap orang Jawa pemalas. Tidak. “Orang Jawa”, kata Raffles, “sangat rajin dan senang bekerja… bangun saat fajar, berangkat ke ladang padi pukul setengah tujuh…. Selama siang yang panas mereka beristirahat di bawah bayang-bayang rumah… merawat peralatan pertanian atau sibuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting.


“Sekitar pukul empat mereka kembali bekerja di sawah…pukul enam mereka pulang, makan malam dan menghabiskan sisa waktu hingga menjelang tidur dengan sedikit hiburan atau bincang-bincang, sementara seluruh desa terlihat tenang, damai dan menyenangkan.”


Pembaca perlu mencermati bagian akhir bab itu yang mencerminkan subyektivitas seorang Gubernur Inggris di tanah Jawa.


Ditopang sejumlah data dan argumentasi, Raffles menilai kebijakan pemerintah Belanda tidak tepat. Baru setelah kedatangan Inggris, sejumlah perbaikan pertanian bisa diusahakan.


Pembahasan pada Bab IV berkutat pada dunia manufaktur dan produksi tradisional. Lagi-lagi Raffles menengarai kepatuhan orang Jawa terhadap Eropa (yang dimaksudnya tentu saja Belanda) menyebabkan miskinnya inovasi dan penemuan di bidang ini. Lebih-lebih, gaya hidup yang sederhana tidak menuntut kemajuan yang pesat di dunia manufaktur.


Pemahaman Raffles mengenai potensi strategis Jawa dalam perdagangan internasional juga sangat mencengangkan. Simak rincian ulasan pada Bab V, yang secara khusus menerangkan perdagangan. Sembari melaporkan rincian komoditas ekspor-impor, Raffles meletakkan relevansi pembahasannya dalam konteks hubungan niaga yang tersambung ke banyak belahan dunia lain.


Uniknya, Raffles memasukkan pembahasan agama dalam bab ini juga. Agaknya, ia ingin menunjukkan ketersebaran agama-agama, meminjam istilah Pramoedya, dari negeri “atas angin” tidak bisa dilepaskan dari konteks perdagangan. Uraian lebih mendalam mengenai sistem keyakinan orang Jawa bisa dibaca lebih lanjut pada Bab IX.


Baru pada Bab VII dan VII tema tradisi mendapatkan perhatian penuh.


Simbol-simbol tradisi semacam upacara, drama, wayang, tari, beserta sejumlah adat istiadat diterangkan dalam tutur yang tak membosankan. Sementara Bab X dan XI dihabiskan untuk mendedah sejarah perdaban Jawa yang panjang. Uraian historis ini diakhiri sampai dengan periode kedatangan militer Inggris pada 1811.


Termaktub pula 12 lampiran berharga yang melaporkan kemunduran Batavia, perdagangan dengan Jepang, terjemahan versi modern Suria Alem, hukum pengadilan provinsi di Jawa, perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku di Jawa, cerita pulau Sulawesi dan perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku angka-angka Candra Sengkala, terjemahan Manik Maya, terjemahan huruf prasasti Jawa dan Kawi kuno, pulau Bali, instruksi pajak, hingga memorandum tentang berat, ukuran, dan lain sebagainya.

Manfaat Mengkudu


Nama Lokal :
Mengkudu (Indonesia), Pace, Kemudu, Kudu (Jawa), Cangkudu (Sunda), Kodhuk (Madura), Wengkudu (Bali)
Mengkudu (MORINDA CITRIFOLIA) termasuk jenis kopi-kopian. Mengkudu dapat tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian tanah 1500 meter diatas permukaan laut. Mengkudu merupakan tumbuhan asli dari Indonesi.
Tumbuhan ini mempunyai batang tidak terlalu besar dengan tinggi pohon 3-8 m. Daunnya bersusun berhadapan, panjang daun 20-40 cm dan lebar 7-15 cm. Bunganya berbentuk bungan bongkol yang kecil-kecil dan berwarna putih. Buahnya berwarna hijau mengkilap dan berwujud buah buni berbentuk lonjong dengan variasi trotol-trotol. Bijinya banyak dan kecil-kecil terdapat dalam daging buah.
Pada umumnya tumbuhan mengkudu berkembang biak secara liar di hutan-hutan atau dipelihara orang pinggiran-pinggiran kebun rumah.



Penyakit Yang Dapat Diobati :
Hipertensi, Sakit kuning, Demam, Influenza, Batuk, Sakit perut; Menghilangkan sisik pada kaki;


Komposisi :
Buah buni tumbuhan mengkudu yang telah masak mempunyai aroma yang tidak sedap, namun mengandung sejumlah zat yang berkhasiat untuk pengobatan. Adapun kandungan zat tersebut antara lain morinda diol, morindone, morindin, damnacanthal, metil asetil, asam kapril dan sorandiyiol.


Pemanfaatan untuk obat:

1. Hipertensi

Bahan: 2 buah Mengkudu yang telah masak di pohon dan 1 sendok makan madu.
Cara Membuat: buah mengkudu diperas untuk diambil airnya, kemudian dicampur dengan madu sampai merata dan disaring.
Cara menggunakan: diminum dan diulangi 2 hari sekali.

2. Sakit Kuning

Bahan: 2 buah Mengkudu yang telah masak di pohon dan 1 potong gula batu.
Cara Membuat: buah mengkudu diperas untuk diambil airnya, kemudian dicampur dengan madu sampai merata dan disaring.
Cara menggunakan : diminum dan diulangi 2 hari sekali.

3. Demam (masuk angin dan infuenza)

Bahan: 1 buah Mengkudu dan 1 rimpang kencur;
Cara Membuat: kedua bahan tersebut direbus dengan 2 gelas air sampai mendidih hingga tinggal 1 gelas, kemudian disaring.
Cara menggunakan : diminum 2 kali 1 hari, pagi dan sore.

4. Batuk

Bahan: 1 buah Mengkudu dan ½ genggam daun poo (bujanggut);
Cara Membuat: kedua bahan tersebut direbus dengan 2 gelas air sampai mendidih hingga tinggal 1 gelas, kemudian disaring.
Cara menggunakan : diminum 2 kali 1 hari, pagi dan sore.

5. Sakit Perut

Bahan: 2-3 daun Mengkudu
Cara Membuat: ditumbuk halus, ditambah garam dan diseduh air panas.
Cara menggunakan: setelah dingin disaring dan diminum.

6. Menghilangkan sisik pada kaki

Bahan: buah Mengkudu yang sudah masak di pohon.
Cara menggunakan: bagian kaki yang bersiisik digosok dengan buah mengkudu tersebut sampai merata, dan dibiarkan selama 5-10 menit, kemudian dibersihkan dengan kain bersih yang dibasahi dengan air hangat.